Indonesia ternyata tidak kekurangan pemimpin
berkualitas. Saat mata banyak tertuju ke Jokowi di Jakarta dengan
gebrakannya, di daerah-daerah kita sebenarnya punya banyak inspirasi
lain. Salah satunya dari Sinjai, sebuah kabupaten kecil di Sulawesi
Selatan. Kepemimpinan yang kuat mampu membuat daerah ini berkembang.
Jokowi dijamin minder atas apa yang diperbuat bupatinya. Cerita
perjalanan ini akan menjelaskan sedikit tentang wilayah tersebut.
Dari Bukit gojeng, saya menuju dataran rendah. Ada deretan pulau-pulau
yang menarik perhatian saya ketika melayangkan pandangan dari puncak
bukit gojeng. Menurut warga setempat, namanya Pulau Sembilan. Ada
sembilan pulau yang terpisah dari daratan utama Kabupaten Sinjai.
Tidak jauh dari Balai Nikah itu, berdiri megah sebuah SMP negeri. Klaim
anak kecil tadi ternyata bukan hiperbola. Pemandangan dari ruang guru
maupun ruang belajar SMP ini setara dengan resort-resort mewah di Bali.
Pantai pasir yang sempit, pohon kelapa yang tidak terlalu banyak, dan
hamparan laut bening berwarna kehijauan. Saya tidak tahu apakah
pemandangan ini akan membuat semangat belajar bertambah atau malah
membuat ngantuk.
Sebelum masuk Sinjai, saya
ditantang taruhan oleh Mail, supir rental yang menemani saya dari
Makassar. “Abang boleh cari jalan jelek di Sinjai, bahkan di
kampung-kampung sekali pun. Atau coba cari pengendara motor yang keluar
rumah tanpa helm, walau cuma ke warung terdekat. Kalau Abang ketemu,
boleh potong honor saya setengah” tantangnya.
Awalnya saya anggap itu
angin lalu saja, namun Mail semangat sekali berpromosi. Di sepanjang
perjalanan dia bercerita perkembangan Sinjai di bawah kepemimpinan
Rudiyanto Asapa, Bupati dua periode yang saat ini juga maju sebagai
calon gubernur Sulawesi Selatan.
Masuk Sinjai menjelang maghrib, saya menginap di
Hotel Sahid Sinjai, sebelah kediaman resmi Bupati. Target pertama saya
adalah menikmati satu-satunya kehidupan malam di Sinjai. Kehidupan malam
yang sangat sehat. Sebuah perputaran ekonomi yang mensejahterakan
nelayan maupun warga secara keseluruhan, yaitu Tempat Pelelangan Ikan
(TPI) Sinjai.
Pusat pelelangan ikan
Sinjai mulai ramai sekitar pukul 19.30. Ratusan kapal penangkap ikan
parkir dan berbaris rapi di pinggir pelelangan. Parkir dengan retribusi
resmi yang menguntungkan daerah. Nelayannya bukan hanya dari Sinjai,
nelayan dari Bantaeng, Bulukumba, bahkan dari Makassar lebih suka parkir
dan menurunkan ikan di pusat pelelangan ikan ini. Sebab manajemennya
transparan dan rapi. Taka ada tengkulak yang memonopoli harga.
Ikan diturunkan dan langsung disambut oleh para
pedagang. Masyarakat lalu-lalang bertransaksi baik membeli ikan partai
besar maupun eceran untuk kebutuhan sehari-hari. Ini pasar yang hampir
sempurna, tidak ada cukong atau tengkulak yang bisa mengintervensi harga
ikan. Nelayan, penjual, dan pembeli sama-sama diuntungkan. Jika ikan
tidak habis, dinaikkan lagi ke peti pendingin yang ada di kapal untuk
dijual lagi pada malam berikutnya.
Dengan uang lima puluh
ribu, anda bukan hanya dapat 3-4 ekor ikan, tapi seperti meraup tauge.
Bagi yang ingin segera menikmati ikan segar, di pintu masuk pelelangan
terdapat banyak warung yang menyediakan pembakaran ikan. Inilah
satu-satunya kehidupan malam di Sinjai.
Pulang dari pelelangan
saya mampir di sebuah toko serba ada untuk membeli perlengkapan mandi
dan sikat gigi. Jangan harap anda akan menemukan waralaba semacam
Alfamart atau Indomaret di tempat ini. Bupati Sinjai, hanya mengijinkan
waralaba masuk ke daerahnya jika bersedia menampung produk industry
rumahan warga dengan kuota tertentu. Satu hal yang sepertinya berat
dipenuhi oleh perusahaan waralaba. Namun bagi sang kepala daerah, itu
bentuk perlindungan terhadap sektor ekonomi kerakyatan agar tidak
digilas pasar-pasar modern.
Keesokan pagi saya
bersiap-siap berkeliling ke pelosok Sinjai. melihat langsung hasil
kepemimpinan Rudiyanto Asapa yang disanjung-sanjung warga Sinjai
tersebut.
Saya mulai dengan
menikmati pemukiman di pusat kota. Jalan-jalan yang mulus, rapi, serta
pohon rindang terbentang di sepanjang jalan. Lalu saya lanjutkan
perjalanan ke Sinjai Utara. Lagi-lagi Mail mengingatkan saya soal
tantangannya. “Nanti coba cari jalan jelek ya bang,” tantangnya sembari
senyum-senyum.
Saya tidak tertarik
mencari jalan jelek tetapi sibuk memperhatikan motor-motor yang
berseliweran. Penampilan motor-motor dan pengendaranya rata-rata sama,
konservatif. Hampir tidak ada modifikasi. Motor harus dengan dua spion
pabrikan, tanpa knalpot yang bikin berisik, serta pengedara yang lengkap
dengan helm standar SNI. Konon tak ada kawasan khusus tertib lalu
lintas di sini. Seluruh jalan adalah kawasan tertib lalu lintas. Sebab,
polisi bisa melakukan tilang di jalan-jalan kampung sekalipun. Nama
Kasatlantas Sinjai, H. Eddy, adalah nama terpopuler kedua setelah sang
Bupati.
Saya berhenti di Bukit
Gojeng. Ini awalnya adalah tempat makam purbakala. Namun fosil-fosilnya
sudah dipindahkan ke dalam museum. Lokasi situs purbakala ini sendiri
diubah menjadi taman kota yang sangat asri dan indah. Sekelas dengan
resort-resort super mahal di pulau jawa. Ini merupakan ruang publik
tempat muda-mudi menghabiskan waktu, terutama di akhir pekan. Dan yang
bikin saya kaget, petugas penjaga taman ini memberitahu saya, password
free wifi yang bisa dinikmati di Bukit Gojeng. Masukkan saja password digojengku, anda bisa berselancar di internet sambil menikmati nuansa resort berkelas yang sangat asri.
Saya menuju pelabuhan untuk mendapatkan speed
ke Pulau Sembilan. Tidak ada tujuan khusus, hanya ingin tahu kondisi
pulau-pulau yang terpisah dari daratan utama. Saya menuju pulau yang
paling ramai, dan juga merupakan Pusat kecamatan Pulau Sembilan, namaya
Pulau Kambuno.
Pulau ini dihuni oleh para
nelayan. Tapi jangan bayangkan sebuah kampung nelayan yang berantakan
dan kumuh. Ini jauh di luar perkiraan. Yang terlihat justru sebuah
pemukiman yang sangat rapi dan bersih. Rumah-rumah panggung berjejer
rapi dan gang-gang yang bersih. Hampir tidak ada rumah yang jelek,
begitu juga perahu-perahu mereka yang bersandar di pinggir pulau. Persis
di tengah-tengah pulau terdapat sebuah ruang publik berupa lapangan
yang multifungsi. Jika diptret dari udara, akan mirip seperti stadion di
tengah pulau, dikelilingi oleh rumah-rumah panggung dan tebing. Ini
contoh kearifan lokal yang tidak tunduk pada keserakahan.
Dulu pulau ini gelap gulita.
Tidak ada listrik. Namun setelah dipimpin oleh Rudiyanto Asapa, Kambuno
sudah dialiri listrik. Mekipun masih terbatas pada malam hari, namun
membuat kemajuan dalam banyak hal, terutama pendidikan. Anak-anak bisa
melajar dengan baik. Kehidupan pulau juga lebih semarak, dan sebagian di
antara mereka justru bisa berselancar di internet. Ternyata pulau ini
juga tersedia fasilitas Free Wifi yang dipancarkan dari kantor
kecamatan.
Saya telusuri semua sisi pulau.
Wajah-wajah cerah penghuni pulau, terutama anak-anak menghiasi setiap
langkah saya menyisir pulau. Seorang anak mengajak saya melihat bangunan
SMP tempat dia bersekolah. Tempatnya ada di puncak tertinggi pulau
kambuno. Katanya pemandangannya sangat indah dan tak akan bisa
dilupakan. Ah, saya pikir itu hanya hiperbola saja.
Saya susuri jalan
setapak menanjak yang sudah dibeton. Di kiri kanan terdapat hamparan
hutan kaktus seperti di gurun pasir. Sungguh nuansa yang sangat berbeda
ketika sadar bahwa ini masih di pulau tropis. Di tengah-tengah hutan
kaktus, terdapat sebuah balai nikah, di puncak tebing dan menghadap ke
laut. Sejenak saya layangkan pandangan. Mulut ternganga dan takjub.
Hamparan laut bening dengan warna kehijauan membentang di hadapan mata.
Bisa dibayangkan betapa romantisnya jika pernikahan digelar di balai
nikah ini. Besarnya tidak seberapa, tapi pemandangannya akan membuat
moment pernikahan sebagai kenangan yang sangat berkesan.
Namun, memang harus diakui bahwa 100 persen
anak-anak di sinjai sudah menempuh pendidikan dari SD sampai SMA, dan
itu gratis, baik di sekolah negeri mapun swasta. Bupati Sinjai Rudiyanto
Asapa sudah menerapkan kebijakan ini sejak tahun 2003. Kalau mau jujur,
mungkin dia pelopor pendidikan gratis di Indonesia. Seorang Bupati yang
pernah dilaporkan warganya ke polisi sebagai penculik anak, karena
membawa anak-anak yang bekerja di sawah ke sekolah meski mereka tak
punya seragam. Hanya sayang, tidak ada kamera wartawan Jakarta yang
mampir di sini.
Menjelang sore saya kembali ke
daratan Sinjai. Bersiap-siap kembali ke Makassar. Rasa tidak puas
memenuhi dada. Sebab, selalu ada kejutan di setiap pelosok Sinjai. Dan
itu inspirasi untuk membuat Indonesia lebih baik. Tapi sayang, pekerjaan
terlalu banyak menumpuk di Makassar dan Jakarta. Suatu saat, saya pasti
kembali menyusuri sisi lain daerah ini.
Sinjai memang bukan
daerah ternama. Bahkan jarang ditulis media. Namun bagi yang hadir dan
menikmati langsung akan segera paham bahwa ini seperti sebuah negeri
yang diperintah raja bijak. Kebijaksanaan yang melahirkan ketenangan dan
kesejahteraan bagi warganya
Sumber : http://kompasiana.com/post/jalan-jalan/2013/01/02/negeri-sentosa-tak-tersorot-kamera/
0 komentar:
Posting Komentar